Koloni Emprit
- nilamzubir
- Jan 28, 2016
- 4 min read
Anak muda sering dicap belagu. Masa muda, masa kuliah, selalu dipersepsikan dengan masa sok-sok’an: sok jago, sok berani, sok pinter, sok kritis, sok idealis, dan sok-sok yang lain. Sebuah fase peralihan dari masa kanak-kanak menuju kehidupan dewasa. Begitu kata para peneliti. Anak muda juga digadang-gadang jadi agen perubahan (jadi agen gas, agen sembako, agen koran, agen peyek juga gpp..buat tambahan uang kuliah :P).
Menarik juga ngikutin berbagai analisis dan kajian dari banyak sekali tokoh-tokoh Indonesia tentang peran anak muda untuk negara, serta bagaimana negara menempatkan anak muda dalam berbagai kebijakannya. Berikut adalah kutipan beberapa kajian dan analisis, mulai dari analisis Afra Suci Ramadhan berjudul “Kebijakan Anak Muda di Indonesia: Mengaktifkan Peran Anak Muda”. Cuplikan pointers-nya antara lain:
Belum ada kebijakan anak muda yang terintegrasi di Indonesia. Antara satu kebijakan dan kebijakan lainnya saling beririsan dan tumpang tindih. Dari 8 kebijakan terkait dengan anak muda, hanya UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan yang mengatur kriteria anak muda secara spesifik.
Dari masa ke masa, meskipun anak muda dilihat sebagai generasi penerus, namun perannya belum diaktifkan secara praktis. Anak muda masih dilihat sebagai obyek yang perlu dijaga dan dikontrol. Birokrasi yang rumit dan kurang transparan di instansi pemerintahan juga semakin membatasi akses anak muda untuk terlibat dalam program-program yang menyasar kelompoknya
Semakin berkembangnya kreatifitas dan inisiatif anak muda perlu didukung dengan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah. Selama ini, banyak dari kelompok muda potensial berangkat dari inisiatif dan sumber dayanya sendiri dan program mereka bisa berjalan dengan baik. Dorongan pemerintah bisa lebih memperbesar dampak inisiatif tersebut, berkat struktur dan pengaruh yang dimiliki. Terutama dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah bisa mengembangkan potensi lokal anak mudanya untuk bekerjasama mendesain program yang efektif. (academia.edu – Mei 2013).
Menurut ekonom Faisal Basri dalam diskusi dengan tema “Peran Anak Muda untuk Indonesia”, pada tahun 2050, Indonesia diprediksi akan memimpin di atas Jerman, Prancis, dan Inggris, jika laju ekonomi terus digenjot dari segala sektor. Sejumlah fakta hasil penelitian Bank Dunia dan pengamat ekonomi nasional bahwa grafik pertumbuhan ekonomi akan semakin beranjak naik hingga setidaknya tahun 2030 karena, salah satunya, didukung oleh jumlah ratio usia produktif saat ini sangat tinggi, yakni mencapai 66 %. Angka yang begitu tinggi menunjukan pertumbuhan ekonomi di masa depan sangat bergantung pada kerja dan usaha anak muda saat ini.
Dosen FEUI itu juga mengatakan perlunya anak muda masuk dalam ranah politik. Politik yang dimaksud tidak selalu tergabung dalam partai politik atau turun ke jalan menggelar demonstrasi. Politisi independen itu berujar pentingnya anak muda untuk menyuarakan ide dan pandangannya dalam suatu komunitas. Anak muda sekarang sebaiknya jangan menajiskan politik sehingga menghindarinya dan menjadi cenderung menjadi skeptik. Anak muda harus ‘berpolitik’ untuk menyampaikan pemikiran dan pandangannya guna mengubah bangsa ini. (RTC UI FM, 22 September 2012)
Lain lagi kajian dan analisis Ariel Heryanto yang aku kutip dari laman facebook-nya (19 Mei 2014). Depolitisasi atau pendidikan apolitis berlangsung sejak militer Indonesia menjadi panglima politik di tahun 1966. Gerakan mahasiswa (Angkatan 1966) yang semula dipolitisir oleh tentara untuk membantu menjatuhkan pemerintahan Sukarno, segera dilarang berpolitik sesudah tentara berhasil menguasai tahta negara. Sejak itu gerakan mahasiswa dididik untuk sekedar menjadi gerakan moral (misalnya anti korupsi, anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, dan GOLPUT). Tokoh idola aktivis mahasiswa yang direstui Orde Baru adalah tokoh seperti yang digambarkan dalam film Gie: super-nasionalistik, kutu-buku, suka nonton filem dan naik gunung. Ya, dia berani mengritik guru sekolah atau pejabat negara (seperti Sukarno dan PKI yang dimusuhi tentara) tetapi yang paling penting: ia tidak berminat terlibat gerakan politik!
Dan masih seabreg tulisan-tulisan bagus tentang anak muda dari beragam perspektif, yang ditulis oleh para cerdik cendekia, mulai yang udah sepuh ampe yang setengah toku. Antara lain kajian Hilmar Farid tentang proses peranan penciptaan bahasa sebagai salah satu pengikat nasionalisme Indonesia. Yang bikin jidat mengkeret (bahasa alusnya kening berkerut) dan bikin ketawa adalah mengamati acuan gaje tentang batasan umur “pemuda” dan umur tokoh-tokoh pengurus di berbagai orgnisasi pemuda tingkat nasional maupun daerah.
Nah, sekarang giliran analisis emprit :D. Burung emprit, si kecil mungil imut itu sering dipakai sebagai analogi untuk meremehkan sesuatu. Aku mengenal baik dan menyenangi emprit, karena kanjeng emak-ku memilih rumah yang depannya kebon dan sawah. Sejak kecil, aku dan kakakku disuruh berguru pada alam di sekitar rumah, selain berguru di sekolah. Emprit memang hama buat petani, tapi ada peran dan fungsinya buat ekosistem. Biar kecil imut, emprit juga cerdas, lincah, dan sangat cepat berkembang biak . Mereka nggak ngeper dengan berbagai jebakan petani. Malah pada nongkrong di kepala orang-orangan sawah sambil pada bercuit ria. Para petani sampai give up dengan koloni emprit. Waktu kutanya pada bu Hajah Asmanih, kepala rombongon petani penggarap sawah, apakah panenan padi akan dibagi dua dengan pemilik lahan, dia menjawab dibagi tiga. Tiga dengan siapa? tanyaku. “Bagi tiga ame gerombolan emprit noh…” jawabnya kalem :).
Anak muda abad twitter sama dengan koloni emprit. Salah satu dari 5 arti koloni adalah: kawanan binatang yang tinggal di suatu daerah dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer – Drs. Peter Salim, MA). Kami, koloni emprit sering disuguhi tontonan adegan-adegan absurd oleh para pengelola negara. Mungkin mereka pikir, “ah lu emprit tahu apa… pada ngemprit aja gih sono…”. Mungkin juga banyak yang tak menyadari, bahwa koloni emprit ada dimana-mana, kapan saja, dalam berbagai bentuk dan rupa. Kami berwakakak-ria, tapi kami bekerja keras, belajar keras, dan tahu tujuan yang jelas.
Koloni emprit di abad twitter telah mempelajari banyak hal. Mempelajari sejarah kehebatan dan kelemahan leluhur kami. Mempelajari bermacam teori dari tingkat RT sampai tingkat internasional, mulai teori ketata-negaraan, teori kartel, teori konspirasi, teori kaderisasi, sampai teori bikin otak-otak enak biar otak kita jadi lempeng.
Koloni emprit juga belajar menata positioning berdasarkan keahlian masing-masing emprit. Belajar menyelaraskan pikiran dan kemampuan teknis. Koloni emprit juga belajar menjaga kemerdekaan diri dengan berusaha jadi kaya dengan berkarya, bukan jadi kaya dengan memperdaya. Jadi kaya dengan cara-cara halal jelas bukan dosa.
Selain belajar di dunia nyata dan dunia maya, koloni emprit juga belajar mengamati tanda-tanda alam. Dan berguru kemana-mana, tapi jangan harap ilmu dan sejarah kami telan begitu saja.
Bagi koloni emprit, dunia bukan hanya dalam genggaman kami, tapi dunia bahkan ada di ujung jari-jari kami…. #bahagiers.koloniemprit.
Depok, 30 Januari 2015
Nilam Zubir
Comments