top of page

Save Indonesia: Absolutely Clear!

  • nilamzubir
  • Jan 28, 2016
  • 3 min read

Anak muda harus memelihara sikap kritis, itu jelas. Sikap kritis harus dicetuskan dengan santun, konstruktif, dan solutif (yang didoktrin ortu) juga jelas. Solutif, setidak-tidaknya punya pemikiran positif yang bisa disumbangkan untuk masyarakat, alias kritis bukan asal cablak, itu lebih jelas lagi. Yang sungguh nggak jelas adalah memilah kategori “rakyat pendukung KPK adalah rakyat yang nggak jelas”, apakah lalu akan diartikan “rakyat yang jelas adalah rakyat yang tidak mendukung KPK”?. Buset dah.


Jum’at 23 Januari 2015, Indonesia heboh dengan berita ditangkapnya wakil ketua KPK Bambang Widjojanto. Hari itu, saat “rakyat nggak jelas” berbondong-bondong memberi dukungan moril ke KPK, aku telah terjadwal mewawancarai narasumber untuk materi bukuku yang ke 6 (buku pertama sebagai mahasiswa). Narasumberku kali ini adalah seorang pejabat di salah satu kementerian, yang telah 32 tahun mengabdi pada negara. Menurutku, ia salah satu dari banyak sekali pejabat dengan kategori “the right man on the right place”, tapi nggak punya wewenang memutuskan kebijakan-kebijakan brilliant.


Kami berdiskusi tentang The Great Indonesia yang kurang dikenal oleh masyarakat di luar negeri, kecuali Bali. Indonesia hanya dikenal oleh pihak-pihak yang sangat berkepentingan terhadap sumber daya alam, sumber daya manusia sebagai tenaga kerja murah dan sebagai pasar bermacam produk-produk konsumtif.


Yang sangat ditakuti oleh pihak-pihak sono, adalah ketika “kebesaran” Indonesia benar-benar segera terwujud dengan Nawa Cita, 9 agenda prioritas presiden Jokowi-JK. Maka, seperti yang tercatat dalam sejarah, kaum kolonialis, kaum imperialis, kaum kapitalis, selalu memakai senjata ampuh bernama “devide et impera” alias politik pecah belah, politik adu domba, untuk melemahkan Indonesia.


Menurut Soekarno, imperialisme di mana saja, apapun bentuknya, punya slogan yang sama: “Verdeel en heers”— pecahkan dan kuasai! Dengan menggunakan mantra itu, kolonialisme bisa membangun kekuasaan di negara lain. (GFI–2/9/2013 - Timur Subangun, Kontributor Berdikari Online)


Inilah trik politik adu domba yang digunakan Belanda untuk menjajah Indonesia yang gedenya 60 x negerinya, sampai 350 tahun...


  1. Menggunakan media massa untuk menebar perpecahan

  2. Menjalankan politik pemerintahan sepulau-sepulau, dengan memecah belah administrasi pemerintahan

  3. Menggunakan agama untuk konfrontasi dengan pemeluk agama lain

  4. Penghancuran akal-budi, mental, intelektual, dan moral rakyat


Dan masih banyak lagi cara-cara terselubung manis untuk melemahkan Indonesia. Suasana dibuat sangat membingungkan, saling tidak percaya, saling curiga, dan tak tahu lagi mana kawan mana lawan. Karena kelihaian para kolonial itu menyusup dalam jiwa raga para oligarki, para demagog, ber-KTP Indonesia, yang bahkan mungkin ada di lingkungan keluarga kita…


Sebagai mahasiswa, kita mulai dilatih untuk peka situasi dan belajar mengolah analisa dengan tajam. Karena sasaran utama pelemahan Indonesia adalah kaum muda dan kaum perempuan. Anak muda dilemahkan dengan narkoba, pornografi, berbagai tontonan pembodohan, lifestyle hedon dan lain-lain. Kaum perempuan juga dilemahkan dengan budaya konsumerisme tinggi, gaya hidup hedon dan snob, serta banyak lagi modus-modus pelemahan yang tidak kita sadari.


"Menurut pak Dahlan Iskan, ada tiga golongan yang bisa membawa perubahan untuk maju. Pertama anak muda, kedua perempuan, ketiga orang yang melek teknologi. Sejarah mencatat, bahwa sebesar apapun tekad dan semangat kaum muda untuk turut serta membangun kejayaan bangsa, namun tetap bergantung pada keputusan dan ketegasan para pemimpin untuk menentukan tegaknya kekuatan bangsa dan negara."


Catatan sejarah itu diuraikan dengan bagus oleh Pramudya Ananta Toer dalam novel Arus Balik melalui tokoh muda Wiranggaleng, “Telah aku baktikan masa mudaku, tenagaku, kesetiaanku. Biarpun hanya secauk pasir, untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu ternyata tak bisa diyakinkan untuk menggunakannya…” (halaman 748). (Cuplikan ‘Prolog’ – Membentang Layar)


Niat dan semangat untuk menyelamatkan KPK, menyelamatkan Polri, menyelamatkan Indonesia, pasti JELAS ada di tiap sanubari orang yang masih merasa warga negara Indonesia. Ibuku bilang, bahwa tekad menyelamatkan Ibu Pertiwi sama dengan menjunjung martabat ibu kita. Karena sikap dan perilaku tiap insan manusia adalah cermin bentuk didikan seorang ibu. Jadi, kalo perilaku kita menyimpang, yang pertama dicerca orang pasti ibunya: ibu macam apa yang mendidiknya. Begitu kata emak, eh ibuku… :) .


Catatan ini aku tulis disela-sela kesibukan ngebut menyelesaikan naskah buku di waktu libur kuliah, sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan terhadap tanah air tercinta Indonesia, walau hanya secauk pasir... kata Hang Wira. #SaveIndonesia


Depok, 25 Januari 2015


Nilam Zubir

Mahasiswa FHUI 2014


 
 
 

Comments


Recent Posts 
!
Sway - Michael Buble
00:00 / 00:00

Mahasiswa, MC & P4: Penulis, Penari, Presenter, merangkap Pedagang :D

About Me
Connect
  • Twitter.png
  • Linkedin.png
  • Facebook.png

© 2023 by Make Some Noise. Proudly created with Wix.com

  • Facebook Clean Grey
  • Instagram Clean Grey
  • Twitter Clean Grey
  • YouTube Clean Grey
bottom of page