top of page

Nyai Roro Kidul @ United Nations Convention on the Law of the Sea

  • nilamzubir
  • Feb 2, 2016
  • 13 min read

Laut memiliki daya tarik yang luar biasa. Walaupun sering tercemar limbah industri dan sampah, tapi pesonanya tak pernah pudar. Itu baru dari sisi pemandangan laut dan pantai-pantai indah sampai pesona bawah laut yang menakjubkan, seperti magnit yang menggerakkan orang untuk jeprat-jepret mengabadikan panorama laut. Selama ini, saya hanya menikmati fenomena laut dalam nuansa romantika cinta anak muda.


Tapi sejak Presiden Jokowi mencanangkan agenda besar: Indonesia sebagai poros maritim dunia, memori saya tentang “AADC (Ada Apa Dengan Cinta)” berubah menjadi “AADL (Ada Apa Dengan Laut)” termasuk ada apa dengan Nyai Roro Kidul. Tulisan ini merupakan rangkuman sederhana dari banyak sekali referensi kajian-kajian seputar poros maritim yang saya jaring selama setahun lebih, dan beberapa pengamatan lapangan di saat-saat libur kuliah.


Kepo tentang AADL saya mulai dengan menelusuri sejarah Deklarasi Djoeanda. Deklarasi Djoeanda hanya teringat sekilas dalam pelajaran sejarah semasa SMA. Banyak sekali teman kuliah dan teman sebaya yang saya tanya tentang Deklarasi Djoeanda, juga sama tidak tahunya dengan saya. Saya lebih mengenal Ir. H. R. Juanda sebagai nama bandar udara internasional di Surabaya, atau nama jalan Ir. H. Juanda di Jakarta Pusat, yang sering saya lalui waktu mengikuti pelatihan jurnalistik dan fotografi jurnalistik di Lembaga Pendidikan Jurnalistik Antara, dan saat wisata kuliner di Pecenongan :D.


Ternyata Deklarasi Djoeanda merupakan perjuangan panjang untuk mendapat pengakuan dunia internasional atas kedaulatan Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State). Presiden Soekarno menunjuk Perdana Menteri Ir. Djoeanda Kartawidjaja untuk membuat deklarasi wawasan Nusantara pada 13 Desember 1957 dan memperjuangkan asas archipelago Indonesia di forum internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1958. Keseriusan Bung Karno itu kembali ditegaskan dalam Munas Maritim 1963 dengan menyatakan, ”Kita tidak bisa kuat, sentosa, dan sejahtera selama kita tidak kembali menjadi bangsa bahari seperti masa dahulu.” Melalui penunjukan Ali Sadikin sebagai menteri koordinator maritim, Presiden Soekarno menjadikan laut Nusantara sebagai pilar utama penggerak perekonomian nasional. Selanjutnya, Mochtar Kusumaatmadja gigih memperjuangkan Deklarasi Djoeanda, hingga pada 1982 UNCLOS mengakui kepemilikan laut Indonesia seluas 5,8 juta kilometer persegi. (Auhadillah, Pemerhati Kelautan dan Perikanan – IPB, 2014)


Semakin jauh mengikuti perkembangan gagasan besar Indonesia sebagai poros maritim dunia dan kompleksitasnya, serta menelusuri runtutan sejarah kejayaan maritim Nusantara, yang terasa bukan pameo ‘ngeri-ngeri sedap’ tapi ‘miris-miris sedap’. Sedap, karena wawasan akan natur bahari dan kemaritiman Indonesia menjadi luas. Miris, karena realita bahwa rakyat kebanyakan –termasuk saya- boro-boro mikirin poros maritim, ngarti juga kagak, wong para pemangku kepentingan saja banyak yang belum paham. Itu kata Dr. Chandra Motik Yusuf, Pakar Hukum Maritim dan Ketua Umum Iluni UI dalam simposium dengan tema “Mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia: Dari Negara Kepulauan Menuju Negara Maritim” menyatakan bahwa telah sekitar 30 tahun, usulan draft RUU kemaritiman itu tidak jelas. Usulan draft RUU kemaritiman itu sepertinya masih tersimpan di laci pemerintah. Celakanya masih banyak pejabat negara yang belum memahami dengan baik perbedaan antara kelautan dan kemaritiman (ILUNI UI, 11 Oktober 2014).


Menurut Bona Beding -direktur Penerbit Lamalera- dalam beberapa diskusi, ketidak-pahaman perbedaan antara kelautan dan kemaritiman disebabkan persoalan semantik atas kerancuan pemakaian istilah ‘maritim’ dan ‘bahari’, sehingga menimbulkan distorsi makna yang berujung pada dis-orientasi pemahaman. Makna maritim berkenaan dengan laut; yang berhubungan dengan pelayaran, dan perdagangan di laut. Sedangkan bahari/kebaharian berkenaan dengan budaya, adab, dan eksitensi laut itu sendiri serta masyarakat yang hidup dengan laut, hidup di laut, hidup dari laut.



Kejayaan Maritim, Adab Bahari, dan Infotainment


Dalam mata kuliah Manusia dan Masyarakat Indonesia bab ‘Wawasan Nusantara, Visi Peradaban Bahari’ oleh Bono B. Priambodo, menguraikan bahwa “yang dibutuhkan kini ternyata masih juga kepemimpinan nasional yang mampu menggeser orientasi daratan menjadi lautan. Cara berpikir seperti ini ditunjukkan, misalnya oleh gairah ‘merestorasi kejayaan bahari masa silam sebagai upaya membangun masa depan yang gemilang’. Semangat dan keterampilan bahari yang pernah menjadi kebanggaan Indonesia perlu digali dan dikembangkan di kalangan generasi muda, agar bangsa ini menjadi tuan rumah di negeri bahari sendiri” (halaman 410).


Persoalannya, sejauh mana kesiapan generasi muda masa kini untuk ikut berpartisipasi mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia?. Kejayaan maritim dan keperkasaan bahari leluhur bangsa Indonesia, yang telah menjelajah lintas benua mengarungi samudera, dengan navigasi dan astronomi kuno yang ternyata sangat mumpuni, hanya menjadi kisah asyik dalam catatan sejarah. Itu pun hanya bagi yang demen ngulik sejarah. Malah, kata para pengamat sosial budaya, anak muda zaman sekarang tak paham sejarah kejayaan bahari di daerahnya sendiri. Masyarakat lebih hafal nama-nama selebriti yang sering muncul di acara gosiptainment atau nama-nama politisi yang laris di acara gaduhtainment. Nama Sawerigading, pelaut ulung Bugis yang menerjang lautan ke Tiongkok dalam epik La Galigo, nyaris tak dikenal masyarakat. Demikian pula dengan nama-nama ‘nenek moyangku orang pelaut’ dari berbagai wilayah lain di Indonesia, nggak ada yang kenal. Kalaupun dikenal hanya sebatas nama jalan, nama gedung, atau nama monumen.


Itu baru dari aspek sejarah. Masih bejibun aspek seputar ekonomi sosial budaya yang membelenggu cita-cita poros maritim, yang harus diatasi bersama. Untuk menggalang niat dan pola pikir kolektif tentang makna ‘bersama’ juga bukan perkara mudah, karena watak ‘egoisme sektoral’ yang mengakar nyaris di semua lini. Poros Maritim sebagai kebijakan nasional semestinya dijadikan sebagai komando pusat yang integral, tapi refleksi pelaksanaan di lapangan banyak yang jalan sendiri-sendiri dengan ‘kebijakan turunan’ lintas sektor yang tumpang tindih (Kompas, 10 September 2015 – Poros Maritim Sulit Diwujudkan).


Salah satu sisi kecil dari agenda besar poros maritim yang menarik untuk diamati, adalah jalur distribusi barang dari dan ke Pelabuhan Tanjung Priok. Kerusakan infrastruktur jalan, dan belum selesainya akses jalan tol ke pelabuhan menyebabkan panjangnya antrian truk trailer peti kemas di jalur Cakung-Cilincing yang beken dengan sebutan ‘jalur neraka’. Jarak 2-3 km ditempuh dalam waktu lebih dari empat jam. #TrusAkuHrsBlgWow!Gitu? Belum lagi jalan di dalam lahan area gudang peti kemas yang tidak mulus yang sangat riskan bagi sang sopir dan keselamatan sekitarnya. Beberapa sopir truk trailer yang saya wawancarai bahkan tak paham tentang standar K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Tapi di sisi lain, mereka adalah sopir truk trailer handal dan terlatih menjaga keseimbangan membawa peti kemas di jalan bergelombang yang becek. Keahlian yang beginian boleh dah diadu dengan sopir-sopir truk trailer dari negara tetangga di era MEA… :P


Persoalan lain terkait adab bahari adalah benturan antara perspektif hukum dengan masyarakat adat, masyarakat pesisir, dan nelayan tradisional. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK) tanpa melibatkan nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan berpotensi menimbulkan konflik horisontal dan kriminalisasi nelayan dan masyarakat pesisir.


Bona Beding –pewaris adat Lamalera- menegaskan dalam kesaksiannya pada sidang uji materi UU No. 27 Tahun 2007 di Mahkamah Konstitusi, bahwa ada aturan adat Lamalera yang melarang menangkap paus jenis jantan besar dan betina sedang hamil. Kampung Lamalera sudah dikenal dunia dengan tradisi penangkapan ikan paus yang telah menyatu dengan kebiasaan tradisi masyarakat adat Lamalera. "Dalam kehidupan orang Lamalera, semua kosmologi laut selalu berhubungan dengan ontologis. Ikan selalu dihayati sebagai hadiah dari Tuhan. Mereka dituntut untuk menjaga keselarasan harmoni antara laut dan daratan".


Maka sebagai komponen penting poros martim yang terkait sumber daya laut, diperlukan kebijakan integral yang adil bijaksana, agar pedang hukum diarahkan pada para perampok dan perusak sumber daya laut. Hukum semestinya menjadi sarana untuk melindungi hak hidup dan kesejahteraan nelayan serta masyarakat adat dalam budaya bahari.


Pelengkap kompleksitas menuju cita-cita poros maritim adalah selain minimnya wawasan bahari di kalangan anak muda, Indonesia juga minim pendidikan berkarakter kelautan yang menyebabkan Indonesia nyaris tertinggal dari bangsa-bangsa lain. Padahal, sebagai negara maritim yang memiliki panjang garis pantai lebih dari 95 ribu kilometer persegi, sewajarnya kekuatan ekonomi Indonesia tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara geografis, sosiologis, dan ideologis, masa depan Indonesia ada di laut. Namun masa depan harus dijemput oleh generasi “melek” kelautan. (Iman Sunario, Tempo, 20 Juni 2014).


Pidato Kebudayaan Hilmar Farid (2014) mengatakan “Arus yang mengalir deras dari utara ini tidak dapat dihadapi hanya dengan membuat kebijakan baru, menambah jumlah kapal, mengembangkan infrastruktur, memberi insentif bagi penanam modal, karena seperti saya utarakan di awal, masalah ini sejatinya adalah masalah kebudayaan. Tentu saja kita tidak bisa mengembalikan kehidupan maritim seperti dua ratus atau tiga ratus tahun lalu begitu saja, dan saya kira bukan itu juga yang perlu dilakukan. Masalahnya bukan mengembalikan kebudayaan yang hilang tetapi bagaimana menghidupkan kembali kemampuan, sistem pengetahuan, cara pandang dan cara hidup, singkatnya kebudayaan, yang dikerdilkan selama sekurangnya dua ratus tahun”.


Kekuatan Geopolitik dan Mitos


Genderang poros maritim setidaknya telah menyadarkan publik –yang sadar- atas betapa besarnya kekayaan sumber daya laut yang dimiliki negeri kita. Mulai dari sumber daya migas, mineral, pelabuhan, garam, perikanan: dari ikan raksasa sampai teri, dan lain lain. Belum lagi potensi wisata bahari yang belum digarap optimal. Sumber daya alam yang melimpah, sumber daya manusia, dan letak geografis yang strategis semestinya bisa membuat rakyat makmur sejahtera.


Dunia itu tergantung Indonesia. Faktor geoposisi silang Indonesia di antara dua benua (Asia dan Australia) dan di antara dua samudera (Lautan Hindia dan Lautan Pasifik) menyebabkan 80% perdagangan dunia dengan kapal-kapal dari berbagai negara melintasi perairan Indonesia. Bahkan 50% tanker minyak dunia melintasi perairan dan selat-selat di Indonesia. Setiap kapal asing mutlak dan wajib melintasi ‘Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), jadi tidak asal slonong boy melintas seenaknya sendiri. (M. Arief Pranoto, 2014)


Potensi besar Indonesia perlu didukung oleh pemahaman kolektif tentang geopolitik yang mendalam. Karena tantangan gangguan kedaulatan ke depan bagi republik ini sesungguhnya tak sekadar "serangan-serangan" yang bersifat simetris (fisik dan militer) tetapi asimetris (non militer, cyber, maupun isu-isu terkait Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Lingkungan Hidup). Sehingga apabila gagasan bela negara yang bersifat fisik ditransformasi ke arah pendidikan geopolitik yang akan diberikan sejak dini, tingkat taman kanak-kanak misalnya, pasti gagasan itu akan membuat bangsa-bangsa di dunia, setidaknya di kawasan Asia Pasifik, akan merasa gentar dan cemas. (Kusairi Muhammad, 2015)


Menurut saya, mewujudkan cita-cita poros maritim idealnya memang harus diselaraskan dengan membangun pemahaman dan kekuatan geopolitik, geostrategi, dan geoekonomi sebagaimana telah diuraikan dengan brilliant oleh M. Arief Pranoto dalan kajian-kajiannya. Termasuk kajiannya tentang Madura, potensi SDA-nya yang luar biasa yang bahkan kebanyakan orang Madura sendiri nggak engeh atas kekayaan tanah air tempat kelahirannya. Banyak ragam teori-teori pengalihan isu yang heboh dan digemari masyarakat, untuk mengalihkan perhatian atas apa yang sebenarnya sedang dikeruk habis-habisan dari dalam tanah dan air kita, tidak kita sadari.


Selain kekuatan geopolitik yang perlu dibangun, Indonesia masih membutuhkan pakar hukum laut. Sebab, negara ini mempunyai sumber daya laut melimpah, tetapi tidak bisa dimaksimalkan karena sering berbenturan dengan perbatasan laut luar negeri. Indonesia memiliki wilayah ekonomi kelautan dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) hingga 200 mil yang terhitung dari batas pantai. Indonesia bisa menikmati kekayaan sumber daya laut jika pengelolaanya dilakukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. (Linggawaty Hakim, 2012).


Menurut Prof Hasjim Djalal - Ahli hukum laut internasional- potensi dan prospek Samudra Hindia sangat penting dalam ekonomi dan politik Indonesia di masa depan. Banyak negara seperti China dan India telah bersaing berebut pengaruh atas Samudra Hindia dan sumber daya alamnya. Sayangnya, eksplorasi potensi kelautan kita masih rendah. Masyarakat masih terperangkap pada mitos bahwa Laut Selatan itu tahtanya Nyai Roro Kidul, sang dewi penjaga laut. Kebanyakan dari mereka berkeyakinan bahwa mengeksplorasi Laut Selatan akan mengusik sang Ratu, yang dapat berakibat fatal bila Nyai Roro Kidul sampai murka.


Sebenarnya, mitos Nyai Roro Kidul itu telah diuraikan dengan bagus oleh sejarawan Prof. Slamet Muljana berdasarkan narasi sejarah dalam naskah-naskah kuno. Bahwa Panembahan Senopati juga punya agenda besar untuk mengubah kerajaan agung Mataram yang agraris menjadi maritim. Panembahan Senopati pun lalu melakukan riset ke Laut Selatan mengajak para punggawa, para ahli maritim, dan Paspamra (Pasukan Pengawal Raja). Diawali dengan penjajagan untuk pembangunan pelabuhan besar di Laut Selatan, karena kala itu pantai utara Jawa masih dikuasai kaum Cina dan bekas Kerajaan Demak. Tapi usaha Panembahan Senopati itu gagal, lantaran kemampuan teknologi masa itu belum mampu menaklukkan keganasan Samudera Hindia.


Sejak itu berkembang mitos dan legenda dalam beragam versi tentang kisah cinta antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Juga kisah cinta para Pasmpara yang ganteng-ganteng dengan para prajurit Kanjeng Ratu Kidul yang cantik-cantik #yanginiversiku:P. Polemik mitos Nyai Roro Kidul yang paling lucu adalah ketika Mataram terbelah dua sejak Perjanjian Gianti. Kepercayaan masyarakat Jawa bahwa Kanjeng Ratu Kidul adalah istri Raja Jawa, sejak itu sebutannya diubah jadi Eyang Ratu. Sebab kalau jadi istri untuk dua raja Yogya dan Surakarta, sang ratu jadi ber-poliandri. Begitu uraian sejarawan IKIP Sanata Dharma Yogya, Suhardjo Hatmosuprobo.


Di berbagai daerah di Indonesia memiliki mitos dan legenda masing-masing tentang Nyai Roro Kidul. Mitos serta legenda ini hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat selama berabad-abad sampai sekarang. Yang terbaru adalah kisah perkawinan antara Bupati Purwakarta dan Nyai Roro Kidul, yang membuat KUA setempat bingung nyari arsipnya… :D.


Terlepas dari kontroversi benar tidaknya eksistensi Nyai Roro Kidul, kebijakan Panembahan Senopati patut diapresiasi atas pengukuhannya terhadap kekuatan dan eksistensi perempuan melalui mitos ‘kekuasaan & kekuatan’ Kanjeng Ratu Kidul, jauh sebelum gerakan pengarus-utamaan gender dikenal masyarakat masa kini :).


Di berbagai wilayah di Indonesia, laut juga dipersonifikasikan pada sosok perempuan. Laut dilambangkan sebagai keperkasaan seorang ibu, yang secara alamiah memiliki kemampuan sebagai pengayom kelangsungan siklus kehidupan. Di Aceh dan Sumatera Utara, masyarakat mempercayai sosok Dewi Laut dalam legenda Putri Hijau. Ada pula sosok Dewi Laut yang dipercayai masyarakat Sasak di Pulau Lombok dalam kisah Putri Mandalika. Demikian yang dipaparkan oleh Dr. Yoseph Yapi Taum. M.Hum, dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dalam makalah “Berbagai Mitos Tentang Laut: Mengungkap Konsep Bahari Bangsa Indonesia” yang dibawakan dalam Kongres Internasional Folklore Asia III di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta, 7-9 Juni 2013.


Mewujudkan cita-cita poros maritim tidak harus terhambat dengan mitos-mitos yang mengakar dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun. Menurut saya lagi, salah satu contoh cerdas ‘pembangunan dengan mengakomodir mitos masyarakat’ adalah pembangunan hotel dengan menyediakan kamar khusus untuk Nyai Roro Kidul. Antara lain kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach, kamar 33 Hotel Queen of The South Yogya, kamar 308 di Hotel Inna Samudera Beach (ISB) Pelabuhan Ratu. Di saat pariwisata Pelabuhan Ratu sepi, hotel ISB tetap laris dengan eksotisme Kamar 308 dan multiplier effect terbangun untuk ekonomi rakyat yang menjual bunga rampai sesajian dan produk-produk lokal yang dibeli oleh para wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara.


Kearifan dalam kebijakan-kebijakan pembangunan memang sangat diperlukan, mengingat hipokrisi pola pikir masyarakat di berbagai daerah yang mengartikan keyakinan dengan sempit, namun di sisi lain ritual kepercayaan leluhur masih dijalankan. Contoh, patung-patung karya seni dihancurkan karena dianggap berhala, tetapi ritual larung sesaji untuk Nyai Roro Kidul tetap dilaksanakan secara komunal.


Dengan begitu banyak dan kompleks permasalahan yang mengepung gagasan besar poros maritim, akan berapa lamakah cita-cita itu bisa terwujud? Nyai Roro Kidul bilang “Keep on moving. Never surrender…:)”.


Selamat membaca satir pidato imajiner Nyai Roro Kidul @UNCLOS.


Nyai Roro Kidul @UNCLOS


Sejarah selalu berulang, sejak peradaban Lemuria sampai zaman modern. Banyak cerdik cendekia tua muda idealis di zaman modern, bergotong royong memetakan kebesaran Nusantara dengan mempelajari berbagai aksara purba untuk membaca prasasti dan rontal-rontal kuno. Ramalan Jayabaya terus bergulir. Konon siklus kejayaan Nusantara akan selalu berulang pada tiap 500 tahun.


Tahun 3015 Indonesia bertranformasi menjadi negara republik semi kerajaan bernama Nusantara. Para senator mengesahkan nama Nusantara bukan hanya karena analisa struktur value dan sincronity huruf Nusantara memiliki Coherence Value lebih tinggi dari Indonesia, juga agar para ‘intelay' (intelek alay) tidak seenaknya menyingkat Indonesia menjadi Indo atau Indon. Negara Kesatuan Republik Nusantara dipimpin oleh seorang kepala negara yang adil bijaksana bernama Kanjeng Presiden Priyo Satrio Piningit, yang beken dengan sebutan pak PSP (bukan Pancaran Sinar Petromaks ya, itu sih nama orkes parodi zaman AEG #AngkatanEmakGw).


Di masa itu Nyai Roro Kidul (NRK) bermetamorfosis pada sosok perempuan yang cuma lulusan SD Bulakgantung –kalau ke sekolah harus uji nyali bergelantungan di jembatan reyot- tapi kandidat doktor Ahli Hukum Laut Internasional dari UI (Universitas Internet). Disertasinya sangat fenomenal berjudul “Segoro Ojo Diobok-obok” diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Ia diangkat dalam Rakryan Mantri ri Pakirakiran (semacam kabinet) sebagai menteri bidang samudera dan isinya. Kemudian ditugaskan mengikuti sidang Konferensi Hukum Laut I abad ke-31 (UNCLOS I) untuk memperjuangkan wilayah Nusantara yang udah kacau karena laut banyak yang ditimbun, pulau-pulau terluar banyak yang ditilep, pasir dan tanah dikeduk buat nambahin daratan negara tetangga.


Sebelum berangkat, NRK mengadakan konferensi pers. Para awak media sibuk memberondong NRK dengan beragam pertanyaan yang nggak ada korelasinya dengan tugas ke UNCLOS. Berikut transkrip cuplikan wawancara NRK dengan para awak media (AM):


AM 1 : Nyai ngefans sama warna hijau ya? NRK : Iya, walaupun saya pemilik otoritas laut, tapi saya selalu membantu kawasan darat dengan kampanye let’s go green, gitu loh.. AM 2 : Kenapa Nyai sentimen sama orang yang pake baju hijau sering hilang di laut?. Rumornya diculik sama prajuritnya Nyai. NRK : Ah sapa bilang? Cuma ‘kolor hejo’ dan ‘buto ijo’ yang saya sweeping. Anda harus bantu mengedukasi masyarakat, kalo ke laut sebaiknya pake warna-warna menor, yang cerah. Jadi kalo terjadi kecelakaan gampang nyarinya, pake warna ijo nyusahin tim SAR, kan mirip warna laut.


Menuju sidang UNCLOS yang dihadiri delegasi dari berbagai negara, Nyai Roro Kidul membawa tim delegasi lengkap termasuk perwakilan UKM bidang makanan ikan olahan, anggota The Nusantara Fishery Product Processing, sambil nyontohin UKM cara presentasi. Dan tak lupa membawa meme paling kocak yang dicetak jadi standing banner.



NRK tampil cantik dan prima serta sangat menguasai misi yang diembannya. Pada saat gilirannya bicara, dengan sangat pede ia memulai pidatonya yang memukau hadirin “My name is Nyai Roro Kidul. Just call me ‘K’…”. Tiba-tiba salah satu delegasi seorang pria muda agak gendut, menginterupsi “Aauw.. are you member of K Pop?”. NRK kaget dan spontan menjawab asbun “Oh no no, I am agent K308”. Sespri NRK berbisik “Nyai lagi promosi kamar 308?”. NRK menjawab berbisik “Sssst… eta teh bulan lahir aing, eh abdi”. Sang sespri pun tersenyum dan dalam hatinya berkata “Kirain Nyai lagi promosi wisata goib”. NRK melanjutkan presentasi tentang Nusantara Raya yang membuat hadirin dan panitia penyelenggara terpesona hingga tak sadar waktu yang diberikan melebihi kuota.


NRK juga mempresentasikan potensi kekayaan ikan di lautan Nusantara yang luar biasa banyak, nggak pernah habis walaupun digarong sana-sini. Dengan fasih NRK menguraikan tentang ragam produk ikan olahan. Ia bercerita saat leluhurnya (Nyai Roro Kidul pada era Perang Dunia II) sedang membuat cemilan fish pie, tiba-tiba ada kapal selam U-Boat milik Nazi Jerman karam di Laut Karimunjawa wilayah teritorinya. Lalu leluhurnya memberi nama cemilan fish pie itu 'Pempek Kapal Selem'. NRK melanjutkan presentasinya dengan foto-foto pempek yang menggiurkan lewat layar proyektor. Ia terus berceloteh tentang peluang investasi membuka industri Fishery Product Processing dan mengatakan jika mengonsumsi pempek kapal selem secara masif, maka akan memiliki angkatan laut yang kuat. NRK juga ngajarin membuat varian produk dengan nama unik, pempek Markonah seperti martabak Markobar di abad 21. Audience mendengarkan dengan takjub dan melongo. “So, I will indue your company with a great name: Nusafood. This is your opportunity…” Sementara itu, Kanjeng Presiden PSP menyaksikan jalannya sidang dengan video conference canggih dari ruang pribadinya sambil senyum-senyum dan dalam hatinya berkata ”Hmmm... gua demen nih punya rakyan mantri rada gokil kayak gini”.


Selain pempek, NRK juga mempromosikan produk ikan olahan yang lain, yakni otak-otak. “This one is another amazing fish pie. Your people’s otak will be very-very brilliant if massively consume otak-otak”. Salah satu delegasi wanita yang bohay –keliatannya doyan ngemil- bertanya “Miss K, do you mean otak udang? I ever heard about that”. Waduw, NRK jadi bingung menjelaskan arti otak udang. Sejenak NRK terdiam memikirkan kromo inggil-nya *t..* itu apa ya. Ia pun menjawab ngasal, niru cara leluhur pada abad ke 19 -21 yang suka memakai teori ‘Eufimisme Sebagai Alat Pelanggeng Status Quo’ “No no, it’s totally different. Otak udang mean your brain move to your knee”. Spontan delegasi yang lain berseru “Ooh so amazing…”. NRK pun jadi bingung, dan berkata dalam hati “Wah kacau nih presentasi, nape jadi ngebahas otak udang?”. Tapi NRK terlatih mengendalikan suasana. Ia melanjutkan promosi tentang peluang usaha produksi otak-otak dengan berbagai varian. Ada beragam otak-otak rasa ini-itu, ada juga otak-otak rasa demokrasi. NRK menjelaskan, jika rutin mengonsumi otak-otak rasa demokrasi, maka rakyatnya akan mahir menjungkir-balikkan demokrasi: atas dasar suara terbanyak, ubur-ubur bisa disahkan jadi lobster. Di akhir pidato, hadirin memberikan applause meriah dengan standing ovation.


Seluruh panitia penyelenggara dan para delegasi terpesona dengan pidato Nyai Roro Kidul, maka konvensi PBB UNCLOS I abad 31 untuk Nusantara ditanda tangani. Mission Accomplished.


Saking terpikat dengan aura Nyai Roro Kidul, di akhir sidang banyak delegasi dan panitia penyelenggara ikut rombongan NRK pulang ke Nusantara. Staf Ahli Bisik (SAB) NRK mengusulkan mengajak rombongan untuk tour melihat area property mewah sambil promosi investasi. Sesampainya di lokasi pemukiman supermewah di Jakarba (Jakarta Batavia), ternyata banjir. Sang SAB kelimpungan dan segera mendatangi juru iklan property melalui teleportasi time tunnel. “Hey miss, anda kalo ngiklan yang bener, jangan lebay. Anda gembar-gembor property anda dijamin nggak banjir 1000 tahun. Liat tuh!”. Sang juru iklan cantik menjawab dengan kalem “Pak, saya ngiklan tahun 2015. Lah sekarang anda berada di tahun 3015. Jadi pas kaaaan…”. Pak SAB pun bersungut-sungut cembetut. Sang nona juru iklan tersenyum dan dalam hatinya berkata ”Waduh, tuh pak pejabat waktu sekolah matematiknya jeblok ‘kali yee..”.


Depok, 17 Januari 2016

Nilam Zubir

Mahasiswa FHUI 2014

* * * * * * *


 
 
 

Comments


Recent Posts 
!
Sway - Michael Buble
00:00 / 00:00

Mahasiswa, MC & P4: Penulis, Penari, Presenter, merangkap Pedagang :D

About Me
Connect
  • Twitter.png
  • Linkedin.png
  • Facebook.png

© 2023 by Make Some Noise. Proudly created with Wix.com

  • Facebook Clean Grey
  • Instagram Clean Grey
  • Twitter Clean Grey
  • YouTube Clean Grey
bottom of page