Resensi Buku Kecil-kecil Jadi Wayang
- nilamzubir
- Feb 2, 2016
- 4 min read
KECIL KECIL JADI WAYANG, CARA NILAM MEMANDANG HIDUP
Oleh Maria D. Andriana*

Peluncuran Buku Kecil-Kecil Jadi Wayang - Jakarta, 18 September 2011
Jakarta, 18 September 2011
Orang yang sibuk seringkali mengeluh bahwa 24 jam tidak cukup baginya. Kita berbicara mengenai Nilam Zubir yang merengkuh waktu, sehingga waktu itu seperti mengalir cair, dan selalu tersedia untuk memenuhi seluruh kegiatannya yang sangat padat.
Dari kelas lima SD, itu berarti lima tahun yang lalu, ia sudah menghasilkan empat buku yang sudah tercetak, dan beberapa naskah yang sekarang siap cetak.
Menulis empat buku dalam lima tahun bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi sebagai pelajar Nilam juga memiliki kesibukan harian yaitu bersekolah, dan juga menikmati masa remajanya untuk terus belajar kesenian, olahraga dan ilmu pengetahuan.
Buku Nilam Zubir yang ke-empat berjudul KECIL-KECIL JADI WAYANG, another gokil story menunjukkan kemajuan luar biasa posisi Nilam sebagai penulis. Tulisannya mengalirkan cerita yang enak dibaca, komunikatif, informatif dan inspiratif.
Nilam bersikukuh menggunakan gaya bahasanya yang khas, mencampurkan bahasa gaul pada hampir semua kalimatnya dengan susunan tata bahasa yang benar, sehingga dengan demikian ia bisa merangkul pembaca seusianya dan pembaca berusia lebih dewasa sekaligus.
Meskipun isi buku ini menceritakan pengalam pribadinya ketika bermain wayang orang, Nilam tidak terjebak pada gaya pemujaan diri sendiri seperti kebanyakan buku serupa. Ia berhasil menempatkan dirinya seperti seorang “dalang” yang bercerita, dan mengungkapkan kisah-kisah di balik panggung, serta bagaimana ia menilai seni tradisional wayang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Malahan buku ini juga menyediakan jawaban atas pertanyaan seputar pewayangan. Misalnya mengenai cerita-ceritanya, mengenai gamelan, tembang, tari yang menyertainya, busana, tatarias sampai manajemen pertunjukkan.
Kelayakan informasi yang disajikan Nilam dalam buku ini sangat lengkap, mulai dari pengalaman pribadi, hasil wawancara dengan beberapa orang yang berkompeten, serta studi pustaka yang dalam hal ini -sesuai zamannya-, banyak dilakukan melalui penelusuran maya.
“Menelusuri jagad wayang di dunia maya tuh ternyata luas banget. Referensinya bejibun. Riset ini gua namain Riset Online. Leherpegel.com” tulis Nilam (Halaman 7) membuktikan keseriusannya mencari informasi melalui riset data.
Cara Nilam Memandang Hidup
Seni Wayang sudah lazim diketahui hanya diminati sekelompok kecil orang-orang tua, dan sangat langka untuk mencari anak muda yang gemar wayang. Tak terkecuali Nilam yang sebelum menonton wayang orang di panggung Bharata, lebih memilih jungkir-balik mencari tiket konser Maroon 5, kelompok musik Amerika Serikat yang digandrunginya ketimbang menonton wayang secara gratis.
Tetapi Nilam toh akhirnya menonton wayang mengikuti ajakan emaknya. Dan pertunjukkan wayang langsung membuatnya jatuh cinta, sampai-sampai ia pun lagi-lagi menyetujui saran sang ibu, untuk melamar ikut bermain wayang Tunas Bharata serta menulis pengalamannnya itu menjadi buku.
Nonton konser Maroon 5 membuat Nilam hepi, tetapi ia mengaku merasa tidak memperoleh ”sesuatu” kecuali capek doang (hal.18), sedangkan ketika menonton dan bermain wayang, Nilam banyak mendapat pelajaran hidup yang dituangkannya dalam buku ini.
Sebagai siswi SMA yang peduli terhadap bangsa dan tanah airnya, Nilam mengaitkan pertunjukkan wayang dengan lakon ”Petruk Dadi Ratu” dengan karut marut kepemimpinan di Indonesia saat ini, termasuk penghayatannya bahwa sosok Arjuna harus menjaga citranya dan tidak cengengesan (hal 15).
Banyak kritik ikut ditulis Nilam dalam buku ini. Misalnya masalah pengucilan anak baru atau yunior di sekolah-sekolah Indonesia yang sekarang terjadi sangat luas, dan apresiasinya terhadap anak wayang yang dilihatnya hidup rukun dan guyub, bersedia menerima Nilam, sebagai pemain tamu dengan hati terbuka. Menurut Nilam, itu merupakan keadaan yang langka di tengah suasana pengucilan ”orang baru” yang ia lihat sendiri dalam pergaulan sehari-harinya.
Kemandirian para pemain wayang dalam mempersiapkan seni pertunjukkan, kemahiran dan kerja profesional mereka dipotret dan diberitakan secara ’telanjang’ oleh Nilam bagi pembaca, termasuk kegalauannya akan pelestarian seni wayang yang sudah mendunia ini.
Buku ini layak dibaca oleh pembaca berusia tua dan muda. Isinya bisa menghibur (cerita saat latihan nembang: kalo bagus om Lukas tepuk tangan sendiri, trus nggelosor celentang, istirahat sambil bilang: ”Istirahat dua menit. Ojo sms-an yo ndhuuk”. Ritual kayak gitu terus diulang sampai rasanya aku nggak bisa nahan ketawa, sumpe! hal.45).
Menyodok (Mereka juga gak kenal Sawerigading, ayah La Galigo yang beken di luar negeri. Padahal banyak orang asing pada bikin pementasan La Galigo di panggung panggung ternama dunia. Filenya aja tersimpan rapi di Leiden, Belanda. Jadi abege abege sana kenalnya sapa om?? Kenalnya sama Ariel Peterpan! Wkwkwk –hal 107), memberi teladan (di sekolah aku selalu salam takzim sama satpam. Waktu jadi anak baru, temenku heran dan bilang ”Ih sopan amat lo ama satpam”. Giliran aku yang heran, taunya cuman dikit murid yang salam takzim ama satpam. Padahal kata emak, kalo kita santun dan hormat ama orang yang lebih tua, pasti kita didoain yang baik-baik. Gitu fren. Sok tuil :p) menggugah empati dan simpati ( Lebih kaget lagi waktu aku tahu honor pemain dan semua kru. Sekali pentas cuman 30 rebu sob :(. Transportnya aja berapa. Mereka tinggal di kompleks Bharata di Sunter, Jakarta Utara. Blum makan minumnya, jajannya, kosmetiknya, pulsanya... hadeh. Tapi mereka hepi-hepi aja ngejalaninnya. Kata emak, itu namanya pengabdian pelestarian budaya-hal 55) dan juga inspiratif (keponakan saya bilang ”boleh ya nulis buku dengan bahasa gaul?”)
Peran besar keluarga Nilam dalam mendorong terwujudnya buku ini memang tidak bisa dipungkiri, bisa disebut terlalu besar, dan sangat berharga untuk menghasilkan karya yang mewah ini.
Sebagai pengajar jurnalistik, saya menemukan bahwa karya tulis non- fiksi Nilam ini sangat sesuai dengan kaidah jurnalistik. Data dan informasinya tersedia dengan sumber-sumber yang kompeten. Penyajiannya menarik dan membuat orang terpaku untuk membaca, dan bahasanya sangat komunikatif serta interaktif.
Karya jurnalistik juga dinilai dari ”pesan” yang terkandung dalam tulisan, dan pada buku ini pesannya sangat jelas, yaitu mengajak pembaca untuk menghargai serta memaknai wayang sebagai salah satu budaya bangsa yang layak dijunjung dan dilestarikan.
Bila buku ini bisa menginsipirasi banyak seniman Indonesia untuk ramai-ramai memajukan seni wayang, dan bila buku ini juga menginspirasi lebih banyak orang untuk menonton wayang, barangkali sebelum 2311 seperti perkiraan Nilam, seni wayang bisa dibanggakan macam orang Eropa bangga akan pertunjukkan opera. Lalu Ramayana menjadi sepopuler Romeo and Juliet, Mahabarata selaris pertunjukkan Hamlet.
* * *
* Manager Lembaga Pendidikan Jurnalistik, LKBN Antara.
Comments