top of page

Kartono, Goyang Kobra, dan Kanjeng Pembokat

Menjelang bulan April, penjahit kebaya kebanjiran order. Bisnis butik-butik dan tempat penyewaan pakaian daerah laris manis. Tanggal 21 April selalu meriah, bagaikan karnaval kebaya dan beragam pakaian daerah yang semarak muncul di sekolah-sekolah, serta di kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Tak ketinggalan para penyiar televisi, yang wanita tampil cantik berkebaya. Hari Kartini seolah identik dengan kebaya dan parade pakaian adat.


Seputar tanggal 21 April biasanya juga muncul lagi kontroversi dan polemik, tentang mitos Kartini sebagai ikon emansipasi wanita produk Belanda dan rekayasa sejarah. Raden Ajeng Kartini mendapat Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia melalui Keppres Nomor 108 Tahun 1964 oleh Presiden Soekarno. Keppres tersebut juga menetapkan hari lahir beliau sebagai Hari Kartini yang diperingati tiap tahun secara nasional dengan berkebaya ria, tak terkecuali bagi para perempuan suku Asmat di Papua sono (Tabloid Jubi – 21/4/2016).


Penokohan Kartini sebagai pahlawan nasional juga menimbulkan anakronisme, mengingat di seantero jagad Nusantara juga banyak tokoh perempuan pejuang yang tangguh, seperti Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia di Aceh. Di Maluku ada Maria Kristina Tiahahu, di Minangkabau ada Siti Manggopoh dan Rangkayo Rasuna Said. Di Bandung ada Dewi Sartika. Selain itu, di Bugis juga ada Colliq Pujie (Arung Pancana Toa Ratna Kencana Colliq Pujie), yang menulis ulang sureq La Galigo yang dikumpulkan dari ribuan manuskrip yang terserak di istana-istana raja Bugis maupun yang terekam dalam ingatan para tetua. Epos La Galigo hasil jerih payah Colliq Pujie ini dianggap sebagai mahakarya sastra terpanjang di dunia (M. Ruslailang – 21/4/2016).


Ada lagi dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia yakni: Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan, yang tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Balai Pustaka, 1978), terbitan Kowani, yang bikin Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar jadi galau. Belum lagi jutaan perempuan pejuang yang tak tercatat dalam kronik sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.


Trending topic lain yang seru di bulan April adalah isu seputar kesetaraan gender, emansipasi, dan aliran-aliran feminisme. Kartini menjadi simbol perlawanan ketertindasan perempuan, dalam posisi perempuan sebagai subordinat pada budaya patriarki. Tapi, apa iya stereotip perempuan itu begitu lemah sehingga ada syair lagu jadul “..wanita dijajah pria sejak dulu..”. Orang Jawa juga mengistilahkan istri (perempuan) sebagai “konco wingking (teman di belakang)” yang bisa diartikan bahwa otoritasnya cuma sebatas dapur dalam ranah domestik rumah tangga. Mungkin itu berlaku di beberapa dekade yang lalu. Tapi di zaman moderen sekarang kayaknya enggak deh. Pepatah bilang, roda berputar. Dulu perempuan (istri) tertindas, kini menindas, kan ada pemeo ISTI (Ikatan Suami Takut Istri), trus ada sinetron dan pelem berjudul “Suami-suami Takut Istri” :P. Pemeo lucu itu bisa jadi merupakan representasi realitas sosial masa kini, yang menyiratkan hegemoni perempuan dalam rumah tangga, dengan pressure agar para suami ngumpulin harta sebanyak mungkin, supaya para istri hedonisi bisa wira-wiri ke luar negeri mborong gucci trus selpi narsisi sambil minum brendi. Wah, jangan-jangan ISTI merencanakan amendemen Undang-undang No 23 Th. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, buat nyelipin pasal agar laki-laki juga harus dilindungi dari KDRT oleh para istri… :D


Emansipasi Bukan Sok Aksi


Hari Kartini tahun ini ikut saya rayakan dengan olah pikir dan rasa, dan dengan kerumunan pertanyaan di kepala yang entah dari mana akan dapat jawabannya. Rasa ingin tahu (curiosity) yang kuat berawal dari ngetren-nya istilah Pengarustamaan Gender (PUG). Untuk mengucapkannya saja lidah saya serasa belibet, otak saya juga rasanya susah nyampe untuk memahami makna dan menyelaraskan fakta di kehidupan nyata.


Dalam artikel “Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan”, HJ. Tumbu Saraswati, SH menguraikan bahwa istilah gender sudah digunakan secara luas oleh masyarakat di berbagai forum, baik yang bersifat akademis maupun non-akademis ataupun dalam diskursus pembuatan kebijakan (law making process). Namun, tidak selamanya istilah tersebut dipergunakan dengan tepat, bahkan terkadang mencerminkan ketidakjelasan pengertian konsep gender itu sendiri. Kekeliruan ini memiliki implikasi yang tidak kecil, khususnya apabila terjadi dalam proses pembuatan kebijakan. Kekeliruan ini bukan tidak mungkin menyebabkan kebijakan yang dihasilkan tidak tepat sasaran dan tidak mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu kejelasan konsep gender penting sebagai langkah awal memahami pengarusutamaan gender. Pengertian gender tidak bersifat universal, melainkan tergantung pada konteks sosial yang melingkupinya. Sebagai contoh, masyarakat berbasis patrilineal seperti di Jawa sangat mungkin merumuskan gender secara berbeda dengan masyarakat yang sistem sosialnya berbasis matrilineal (Komnas. Perempuan, 2013).


Sungguh saya sangat kepo, apakah PUG sebagai strategi sistematis untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan telah tercapai?. Secara de jure memang setara, tapi secara de facto, rasanya kesenjangan dan diskriminasi gender terhadap perempuan masih menganga dimana-mana. Mulai dari pola pernikahan dalam UU Perkawinan 1974, kesenjangan di pasar kerja dan jenjang kepangkatan, hak kepemilikian, hak kepemimpinan di wilayah publik, kekerasan fisik dan lain-lain.


Setara disini juga bukan berarti harus ratio 50:50, karena memang tak ada kriteria baku untuk kesetaraan gender. Setidaknya setara dimulai dari pola pikir para pemangku kebijakan dan masyarakat sendiri. Perempuan dalam strata masyarakat ekonomi lemah, masih dikondisikan sebagai objek ekonomi semata. Mulai dari buruh, TKW, sampai Irma Bule.


Emansipasi yang diperjuangkan dalam pemikiran Kartini dan tokoh-tokoh perempuan Indonesia yang lain sejak-sejak berabad-abad yang lalu, sejatinya adalah upaya kesetaraan hak dan kewajiban –antara wanita dan pria- di wilayah domestik rumah tangga maupun di wilayah publik secara proporsional dan adil. Namun, gerakan emansipasi masih sering dinilai negatif seolah gerakan sok-sok’an perempuan, yang mau sok menang-menangan, sok bisa memimpin, sok lebih unggul, dan sok-sok yang lain. Sok atuh


Perempuan Sebagai Objek Ekonomi


Banyaknya perempuan yang kompeten mengisi posisi-posisi strategis di pemerintah, perempuan-perempuan yang menduduki pucuk pimpinan korporasi besar milik pemerintah, swasta maupun asing, juga keterwakilan perempuan di parlemen, menjadi salah satu indikator pencapaian Pengarusutamaan Gender di Indonesia.


Tapi di sisi lain, perempuan masih menjadi objek ekonomi, baik secara terang-terangan maupun secara tersamar, dari level elit hingga level kampung, dan bahkan seringkali tak disadari oleh perempuan itu sendiri.


Kesetaraan gender terhadap perempuan bisa dimulai dengan perjuangan mengubah kedudukan perempuan dalam pola pikir para ‘Kartono’ (maaf pinjam nama Kartono untuk representasi kaum pria). Mulai dari yang simple aja. Misalnya, mengubah sebutan TKW yang berkonotasi merendahkan, menjadi Duta Wisata atau duta-duta apa kek. TKW juga bisa dibekali dengan pengetahuan potensi wisata daerah, maka pantas dijuluki Duta Wisata. Keren.


Di ranah hiburan tingkat kampung, otak seronokisme para Kartono juga harus disetel dengan regulasi Perda yang kuat, peraturan yang ketat dan komprehensif untuk melarang pertunjukan-pertunjukan erotis yang vulgar, seronok dan mengarah porno aksi, yang ditonton bebas oleh anak-anak. Inga, penelitian psikolog Elly Risman bahwa pornografi menyebabkan kerusakan otak yang parah. Kisah tragis tewasnya Irma Bule, adalah salah satu contoh perempuan sebagai objek daya tarik seksual untuk mengeruk keuntungan materi. Bahkan eksploitasi bukan hanya pada tubuh perempuan tapi juga pada hewan yang seharusnya juga dilindungi.


Di ranah domestik, para Kartono juga perlu menghargai peran pembantu rumah tangga yang sangat penting dalam menunjang tugas ibu rumah tangga dalam membangun keluarga. Posisi pembantu rumah tangga (PRT) telah dimarginalkan mulai penyebutan statusnya, sejak zaman dulu hingga zaman gaul yaitu: bedinde, batur, rewang, babu, pembantu, bibik, pembokat. Mereka tidak terdaftar dan bekerja dalam wilayah privat, sehingga sulit mendapatkan perlindungan dan pengawasan terkait standar dan norma kerja. Sudah lebih dari 11 tahun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan PRT dibahas oleh DPR dan tak kunjung disahkan, RUU tersebut malah dihapus dari Prolegnas 2015 (Kompas, 5/10/2015).


Di ranah konsep diri perempuan sendiri, juga perlu transformasi dalam meneruskan cita-cita dan perjuangan Kartini serta tokoh-tokoh perempuan yang telah diuraikan di awal tulisan ini. Perempuan dengan keteladanan, reputasi dan intergritas yang kuat, bisa menjadi ibu sejati bagi jutaan anak negeri, sebagai anak ideologisnya. Sebab, secara fisik kodrati, perempuan bisa melahirkan anak biologis paling banter cuma selusin.


Indonesia butuh banyak sekali perempuan-perempuan sebagai ‘ibu sejati’ yang mampu melahirkan dan membangun anak Indonesia yang berbudi pekerti luhur, cinta tanah air, religius tapi menghargai perbedaan, berdaya saing tinggi…aahh klise memang, tapi ya memang perlu kalau memang mau negeri kita berjaya dan bermartabat.


Sejuta Kata Dalam Gambar


Perjuangan tidak harus memanggul senjata, juga tak selalu dengan rentetan kata-kata. Orang barat bilang “A picture is worth a thousand words”.


Terlepas dari polemik dan kontroversi atas validasi transliterasi surat-surat Kartini oleh Abendanon (karena transksrip surat-surat asli Kartini tak pernah ditemukan), setidaknya foto dibawah ini - posisi Kartini di sebelah kanan suaminya - menunjukkan perlawanan Kartini atas dominasi budaya patriarki pada zamannya. Konon, dalam kosmologi Jawa, posisi berdiri perempuan harus di sebelah kiri pria, kebalikan dari adat filsafat kuno Tiongkok, Yin & Yang.




Segala hal baik dan niat baik idealnya tidak hanya berhenti di pikiran, tapi harus diwujudkan dalam tindakan. Foto di bawah ini menunjukkan penghargaan sang kepala rumah rumah tangga kepada PRT-nya, dengan memberi tempat duduk sejajar –pada momen tertentu- antara kanjeng nyonya dan kanjeng pembokat plus cucunya. Foto ini diperkirakan pada tahun 1935-an (nenek buyut saya, lahir tahun 1904, adalah putri pertama R. Notohadiprawiro).


R. Notohadiprawiro (kakek buyut kanjeng emak saya) - Foto dokumentasi keluarga


Akhirulkalam


Perempuan bisa menggunakan daya dan kemampuan yang dimiliki untuk membuat gebrakan-gebrakan yang bermaslahat, tanpa harus pake kebaya, bahkan cukup dengan memakai distressed jeans alias jeans sobek-sobek. Sapa tau seribu tahun yang akan datang, hari lahir sista ditetapkan sebagai Hari Sobek-Sobek Nasional, trus dengan power yang sista miliki, sista bisa bertitah gaya Thukul “My hubby, my kids, hayo… hati, pikiran dan tindakan harus lempeng! Jangan bengkok-bengkok, ntar tak sobek-sobek utekmu..eh lambemu!”.


Depok, penghujung April 2016


Nilam Zubir

Identitas Cinta



Recent Posts 
Sway - Michael Buble
00:00 / 00:00

Mahasiswa, MC & P4: Penulis, Penari, Presenter, merangkap Pedagang :D

About Me
Connect
  • Twitter.png
  • Linkedin.png
  • Facebook.png
bottom of page